ABLASI


1. Pengertian (Definisi) : 
adalah tindakan intervensi elektrofisiologi yaitu tindakan untuk penyembuhan takiaritmia dengan cara mengeliminasi sumber aritmia memakai energi frekuensi radio melalui kateter ablasi yang dimasukkan ke dalam jantung melalui pembuluh vena atau arteri femoralis.
Ablasi dapat dilakukan secara konvensional maupun dengan sistem pemetaan tiga dimensi.
Ablasi konvensional dilakukan pada kelainan : yang memiliki posisi anatomi dapat diakses dengan mudah, tidak disertai kelainan structural jantung seperti dilatasi luas ruang2 jantung kanan hingga kelainan jantung bawaan.
Ablasi 3 dimensi dilakukan pada : kelainan irama pada kembalinya aritmia pasca konvensional ablasi, ablasi pada sisi atrial kiri, ablasi Atrial fibrilasi yang mengisolasi vena2 pulmonalis, ablasi pada kelainan struktural jantung dengan skar, ablasi pada VT/VF, ablasi pada daerah2 yang tidak dapat dijangkau dengan kateter ablasi konvensional.

2. Anamnesis : 
1. Pasien memiliki kelainan irama yang telah dikenal dengan pemeriksaan sebelumnya.
2. Pasien dapat tidak memiliki keluhan, atau terbatas hanya keluhan berdebar-debar dan tidak mengganggu hemodinamik, hingga memiliki keluhan yang mengganggu hemodinamik.
3. Pada kelainan irama yang tidak berespon dengan penobatan medokamentosa oral.
4. Pada kelainan irama yang saat ini dinilai stabil, tetapi selanjutnya memiliki tanda yang akan memperburuk fingsi struktural jantung.
5. Relaps, kembalinya aritmia pasca tindakan ablasi konvensional sebelumnya hingga dilakukan tindakan ablasi 3 dimensi.
6. Adapun tindakan ablasi dilakukan pada kelainan irama seperti AT, A Flutter, A Fibrilasi,AVNRT, AVRT, JT, PVC, VT.

3. Pemeriksaan Fisik : 
- Hemodinamik dapat stabil, dapat mengalami penurunan tekanan darah
- Pemeriksaan jantung berdasarkan kondisi jantung yang ada saat keluhan terjadi, dapat normal, ataupun kelainan irama terjadi pada kondisi jantung dengan gagal jantung kronis.

4. Kriteria Diagnosis : 
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Foto toraks
4. EKG
5. Ekokardiografi : TTE atau TEE

5. Diagnosis Kerja 
Pro Ablasi Aritmia   

6. Diagnosis Banding : -
  

7. Pemeriksaan Penunjang :
1. Elektrokardiografi (EKG) :
2. Laboratorium darah: hematologi rutin, faktor koagulasi, fungsi tiroid, HbsAg, HCV, HIV dan fungsi ginjal
3. Ekokardiografi trans thorakal dan trans esofageal echocardiografi
4. Holter monitoring
5. Studi elektrofisiologi

8. Terapi :
Persiapan Alat :
Alat tenun steril
C. Jas 3 buah
D. Doek Besar 180 x 230 (cm)
E. Stik Laken 140 x 67 (cm)
F. Duk Bolong 70 x 70 (cm)
G. Duk Kecil 70 x 70 (cm)
H. Perlak/plastic

Alat instrumen steril
j. Kom 3 (500 ml, 250 ml, 100ml)
k. Bengkok 1
l. Duk klem 2
m. Desinfectan tool 1
n. Scaple holder
o. Mesquito 1
p. Kom 1 ( 5 helai)
q. Depper 6

Alat steril habis pakai
1. Disp. Syringe 10 ml     2 buah
2. Disp. Syringe 2.5 ml    4 buah
3. Disp. Syringe 1 ml
4. Bisturi no 11
5. Jarum pungsi  6. Wire J .038”/145 Cm atau J .035 180cm
7. Sarung tangan
8. Hexapolar 6F & konektor 1 set
9. Decapolar 6F & konektor 1 set
10. Folley Hasive 1 buah
11. Kateter ablasi (jenis sesuai kebutuhan) 1 buah
12. Introducer sheath 7F 1 buah
13. Introducer sheath 6F 2 set
14. Introducer sheath 8F 1 set
15. Quadripolar 6F & konektor 2 set
16. Hexapolar 6F & konektor 1 set
17. Decapolar 6F & konektor 1 set
18. Folley Hasive 1 buah
19. Kateter MEA/Navistrar sesuai 1 buah kebutuhan

Rincian Prosedur :
- Pasien ditidurkan di meja tindakan
- Pasang elektrode EKG 12 lead
- Pasang folley hasive dari bawah claviculla kiri dan sambungkan ujungnya ke mesin RF (Radio Frekwensi) ablasi
- Merekam EKG 12 lead
- Tinggalkan elektrode extremitas dan V1 (3 sandapan EKG untuk monitor yaitu : I, II, V1)
- Preparasi pasien dengan betadin cair 10% dan sterilkan area lipat paha kanan dan kiri serta daerah dada, dagu, leher serta bahu kanan
- Tutup area yang disterilkan dengan doek bolong serta area lainnya dengan laken besar dan laken sedang
- Lakukan anestesi lokal dengan Lidocain 2% sebanyak 10 ml 2 cm di bawah garis inguinal kanan sedikit medial dari letak arteri, kemudian jarum didorong sedikit demi sedikit ke arah proksimal pada posisi tegak 450 sambil memberikan sedikit demi sedikit Lidocain 2% sesudah ditentukan tidak masuk pembuluh darah dengan aspirasi sedikit  
-buat sedikit incisi sekitar tusukan anastesi sebesar ukuran jarum seldinger 3 mm
Dengan memfiksir arteri, dilakukan pungsi jarum seldinger ke arah sephalad pada posisi 450 sampai menumbuk perios
- Dengan sedikit tekanan negatif pada spuit 10 ml di jarum pungsi ditarik perlahan-lahan, sampai terasa tiba-tiba tahanan pada spuit hilang dan darah vena keluar dengan bebas
- Spuit dibuka dengan hati-hati agar jarum tidak tertarik
- Masukkan guide wire ke dalam vena lewat lumen jarum, kemudian jarum ditarik ke luar sambil mempertahankan guide wire
- Ulangi No.8 sampai No.12 dengan membuat sedikit insisi diatas tusukan pertama
- Ulangi No.8 sampai No.12 dengan membuat sedikit insisi diatas tusukan kedua
- Kemudian sheath 8F dimasukkan lewat guide wire yang pertama ke dalam vena, kemudian dilator dan guide wire dicabut
- Ulangi No.15 untuk memasukkan sheath 6F ke guide wire kedua dan guide wire ketiga
- Sheath tersebut masing-masing di aspirasi melalui three way kemudian diflushing agar terbebas dari bekuan
- Anestesi lokal di jugular vena sebelah kanan dengan Lidocain 2%
-buat sedikit incisi sekitar tusukan anastesi sebesar ukuran jarum seldinger 3 mm
- Dilakukan pungsi pada bagian tengah lateral otot sternocledomasteodeus kanan ke arah tengah clavicula kanan, perlahan. Dengan sedikit tekanan negatif pada spuit 10 ml di jarum pungsi ditarik perlahan-lahan, sampai terasa tiba-tiba tahanan pada spuit hilang dan darah vena keluar dengan bebas.
- Spuit dibuka dengan hati-hati agar jarum tidak tertarik
- Masukkan guide wire ke dalam vena lewat lumen jarum, kemudian jarum ditarik ke luar sambil mempertahankan guide wire
- Kemudian sheath 7F dimasukkan lewat guide wire, kemudian dilator dan guide wire dicabut
- Sheath di aspirasi melalui three way kemudian di flushing agar terbebas dari bekuan
- Masukkan elektrode Decapolar 6F melalui sheath sampai ke Sinus Coronarius
- Sambungkan elektrode dengan konektor, kemudian sambungkan juga konektor ke switch box mesin elektrofisiologi (Switch Box IEKG)
- Kembali kerja ke bagian vena femoralis
- Masukkan elektrode Quadripolar 6F melalui sheath 8F ke HRA
- Masukkan elektrode Hexapolar 6F melalui sheath 6F ke HBE
- Masukkan elektrode Quadripolar 6F melalui sheath 6F ke RV
- Sambungkan masing-masing elektrode dengan konektornya, kemudian sambungkan juga ke switch box mesin elektrofisiologi (switch box IEKG)
- Mulai melakukan pencatatan sesuai yang dibutuhkan :
1. Menilai interval dasar konduksi
2. RA pacing
3. Antegrade curve
4. RV pacing
5. Retrograde curve
6. Burst RA pacing
7. Zipe’s test
- Elektrode yang di HRA diganti dengan elektrode ablasi sesuai yang dibutuhkan
- Setelah kateter ablasi berada pada tempat/ posisi yang diinginkan/sesuai pemetaan, maka ablasi dimulai dengan menyambungkan konektor ke mesin RF ablasi
- Selama ablasi harus diperhatikan :
- Monitor EKG dan IEKG
- Tampilan di Rf ablasi : watt, temp, impedance, time
- Setelah selesai melakukan ablasi, maka lakukan pencatatan ulang sesuai kebutuhan, yaitu :
- RA pacing
- Antegrade curve
- RV pacing
- Retragrade curve
- Burst RA pacing
- Atau sesuai dengan kebutuhan
- Selesai tindakan dilakukan perekaman EKG 12 lead
- Kateter elektrode dikeluarkan semuanya
- Pasien dipindahkan ke ruang pengamatan dengan sheath masih terpasang
Persiapan Tindakan Ablasi 3 Dimensi
1. Persiapan sama dengan konvensional, ditambahkan dengan persiapan patch untuk refferensi eksternal patch pada posisi dada depan dan punggung belakang.
2. Pasca penempatan kateter konvensional, maka kateter khusus ablasi 3 dimensi dihubungkan dengan alat PIU/Amplifyer yang akan digunakan membuat struktur gambar 3 dimensi secara elektroanatomi.
3. Setelah gambar 3 dimensi berhasil diselesaikan, dapat digambarkan daerah dengan voltase rendah dan dinilai daerah yang menjadi target ablasi.
4. Selanjutnya dilakukan ablasi.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan :
1. Pasien terpasang infus di lengan kiri
2. Pasien terpasang kondom/folley catheter
3. Obat-obatan di berikan sesuai kebutuhan dan atas order dari operator/dokter
4. Elektrode EKG V1 letaknya harus tetap, tidak boleh berubah-ubah. Diusahkan agar tidak mengganggu fluoroskopi, sehingga tidak perlu benar-benar di tempat V1. Dapat diletakkan agak ke lateral kanan/kiri
5. Setiap rekaman intrakardiak harus selalu  ditanyakan trace tersebut dari kateter mana, baik EKG maupun intrakardiaknya. Selalu tanyakan kepada operatornya/dokternya
6. Perekaman dilakukan dengan kecepatan 100 mm/secons
7. Perekaman dengan kecepatan lain sesuai kebutuhan
8. Tindakan secara perkutan melalui :
a. Selalu dari vena femoralis kanan
b. Selalu dari vena subclavia kanan
c. Kadang-kadang dari vena subclavia kiri
d. Kadang-kadang dari vena subklavia kanan
e. Kadang-kadang dari arteri femoralis
    
9.  Edukasi :
1. Mengenali tanda dan gejala secara mandiri Pasien dijelaskan mengenai kelainan irama, komplikasi yang dapat timbul dan tindakan tatalaksana definitif berupa ablasi. Pasca tindakan, pasien dinasihati untuk menghindari makanan, obat dan minuman yang menstimulasi denyut jantung.
Jika muncul gejala yang sama, pasien diminta  tenang dan tetap melanjutkan terapi. Jika keluhan bertambah, pasien ke rumah sakit.
2. Tindakan lanjut
Untuk keluhan yang muncul kembali, dilakukan pemeriksaan ulang untuk menilai irama yang menjadi keluhan.

10. Prognosis :
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsional : bonam  

11. Tingkat Evidens I

12. Tingkat Rekomendasi : A

13. Penelaah Kritis:
1. DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP(K)
2. Dr. Dicky A Hanafy, SpJP(K)
3. Dr. Sunu Budhi Raharjo, PhD, SpJP
4. Dr. BRM Aryo Suryo K, SpJP
5. Agus Susanto, Skep
6. Westri Ambarsih, Skep
7. Rosita Akip, SKep


14. Indikator Medis 
1. Fase akut: keberhasilan konversi ke irama sinus
2. Terapi definitif: tingkat rekurensi <3%.

15. Kepustakaan
1. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with supraventricular arrhythmias, European Heart Journal 2003;34:1857-1897.
2. Ziad Issa, John M. Miller, Douglas P. Zipes.— Clinical Arrhythmology and Electrophysiology: A Companion to Braunwald’s Heart Disease, Saunders, 2009.





sumber :
PPK dan CP penyakit jantung dan pembuluh darah

ADVERTISEMENT
Panduan Praktik Klinis Jantung dan Pembuluh Darah

About Panduan Praktik Klinis Jantung dan Pembuluh Darah

http://ppkjantungpembuluhdarah.blogspot.co.id bukan di tulis oleh organisasi PERKI... namun isi tulisan ini bersumber dari PPK dan CP Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah yang di susun oleh PERKI... tujuan penulisan ulang adalah semata-mata untuk menyebarkan informasi kesehatan sebanyak-banyaknya ke masyarakat terutama untuk praktisi medis... semoga tulisan ini meningkatkan pengetahuan medis warga indonesia. kami akan sangat berterimakasih sekali buat saran, masukan, pendapat yang di berikan buat kami : jantungpembuluhdarah@gmail.com

Subscribe to this Blog via Email :